Monday, September 1, 2014

Kilanait

Virtual Novel - Kilanait

Kilanait : Penyelidikan



FLASHBACK : ON
“Saya mohon kerja samanya pak.” Ucap Steven.
“tapi kenapa harus di kelas XI.3?” Tanya Mr.Anton, selaku kepala sekolah.
“karena kemungkinan besar pelaku kejahatan atas kasus yang akhir-akhir ini beredar ada di sekolah ini. Dan untuk kelasnya, mungkin karena disitu ada Crystal pak.” Cengiran bodoh terpampang di wajahnya.
“maksud anda kilanait?! Dan memangnya ada apa dengan Crystal?” Tanya Mr.Anton panik.
“kilanait? Jadi mereka menamai diri mereka kilanait? Menarik juga.” Sebuah seringaian terpampang di wajah Mr.Brock. “Oh, dan untuk Crystal, itu karena adik saya adalah fans beratnya pak.” Sekali lagi cengiran bodoh terpampang di wajahnya menggantikan raut wajah serius yang tadi sempat menghiasi wajah Steven.
“Hah, baiklah kalau begitu. Akan saya urus semuanya. Mulai besok anda bisa melaksanakan tugas anda.” Kata Mr.Anton menyetujui –setelah jatuh dari rasa ketidak-percayaannya atas alasan yang diutarakan tadi.
“terima kasih sir Anton. Tapi saya mohon agar ini hanya menjadi rahasia kita berdua.”
“baiklah, saya berjanji”
FLAHSBACK : OFF
STEVEN POV
Haah… bangku SMA lagi bangku SMA lagi. Terkadang bĂȘte juga sih kalau harus mengurus kasus seperti ini. But it’s okay. The challenges are here, aren’t they?
TEEET TEEET
Well, sepertinya perasaan saat bel itu berbunyi tetap tidak berubah.
“so, nama lo Steven ‘kan?” Tanya seorang anak lelaki.
“iya. Kenapa?” jawabku.
“nama gue Jeremy. Jeremy Carter. Mungkin lo pernah liat gue di tivi.” Kata anak itu dengan gaya yang…, em…, sok cool mungkin? Tunggu, Jeremy Carter? JEREMY CARTER?! PEMAIN BASEBALL ITU?!
“Jeremy Carter? Astaga, senang bisa bertemu! Gue salah satu fans lu. Ya bukan fans berat sih, Cuma suka liat permainan kalian aja. Apalagi waktu lu ngelempar bola. Ketinggian dan kecepatan yang luar biasa!” kataku semangat.
“well, ya, hahaha. By the way, mau gue anter keliling sekolah?” tawarnya.
“wih, boleh banget. Tapi ke kantin dulu ya. Laper gue.” Kataku dengan senyum khasku (baca: cengiran bodoh)
“ayo aja.”
SKIP TIME
NORMAL POV
-Jeremy’s house-
“perasaanku aja atau Steven emang mencurigakan ya?” kata Anderson bermonolog, sepertinya.
“gue juga ngerasa gitu. Soalnya waktu tadi gue ajak dia keliling sekolah matanya kayak nyari-nyari sesuatu gitu.” Kata Jeremy.
“Got it! Steven Brock. Sarjana S2 kriminologi. Sekarang kuliah S3. Usia 23 tahun –“ kata Crystal terpotong.
“tunggu! 23 tahun S2?! Gimana bisa?!” teriak Jeremy heboh.
“pasti dia orang cerdas.” Jawab Anderson kalem.
“ –Steven menyelesaikan study sampai jenjang SMA di usia 14 tahun. Dia murid percepatan. Menyelesaikan S1 dan S2 hanya dalam 3 tahun. And guess what. Dia spionase1 sejak 5 tahun yang lalu. Dan…, oh crack! Sistem pertahanan tingkat tinggi. Cuma segitu yang aku dapetin.” Kata Crystal.
“jadi benar kalau Mr.Brock itu bukan orang biasa. Itu tandanya kita harus waspada guys. Aku yakin kedatangan Mr.Brock ke sekolah kita bukan dengan alasan yang cuma-cuma. Kemungkinan identitas kita sedikit banyaknya telah mereka ketahui.” Kata Anderson memperingati.
“jadi intinya kepolisian mengibarkan bendera perang sama kita?” Tanya Jeremy meyakinkan.
“sepertinya begitu.” Jawab Crystal.
“kalau gitu kita bunuh aja si Steven itu! Atau kita beraksi siang-siang biar kecurigaannya terhadap kita hilang.” Usul Jeremy.
“kalau kita membunuh Mr.Brock, itu sama saja dengan memberikan informasi bahwa pelakunya memang ada di sekolah kita.” Jelas Anderson.
“lagipula kalau kita beraksi siang-siang itu akan menyulitkan bagi kita. Kita tidak bisa menghilang di depan umum dan melakukan aksi. Bisa-bisa yang lain akan curiga.” Kata Crystal. “dan lagi kita ini adalah kilanait. Kita adalah pembunuh yang berkerja di malam hari2. Akan terasa aneh kalau kita beraksi di bawah cahaya matahari.” Tambah Crystal dengan seringaian andalannya. “dan aku tidak mau kulitku terbakar. Itu bisa merusak reputasiku.”
GUBRAK
“jadi dia Cuma mikirin kulitnya” kata Jeremy sweetdrop.
“yah, pokoknya apa yang dikatan Crystal itu benar. Kita harus cari cara lain untuk menyingkirkannya.” Kata Anderson. “ingat! Yang kita hadapi kali ini adalah organisasi besar.”
-markas kepolisian-
“welcome home, Mr.Brock.” sambutan hangat datang dari Victor yang ditunjukkan untuk Steven.
“this is not my home, Mr.Wesley.” kata Steven.
“ya, Saya tau itu. Jadi bagaimana?” Tanya Victor.
“ini akan sangat mengejutkan. Ternyata pelaku kejahatan yang menamai diri mereka sendiri Kilanait ini berisi orang-orang terkemuka.” Kata Steven.
“maksud Anda?” Victor meminta keterangan lebih lanjut.
“mereka adalah Jeremy Carter, orang yang paling banyak melakukan pekerjaan kotor. Dia yang bertugas membunuh dan mengoperasinya. Yang kedua ada Anderson Miles, bertugas untuk melakukan transaksi dengan pembeli dan juga dia sedikit-banyak meretas suatu jaringan yang memiliki tingkat keamanan rendah. Dan yang terkahir, sang ketua, Crystal Megan. Dia adalah otak dari aksi-aksi mereka. Tugasnya menyusun rencana, meretas jaringan dengan tingkat keaman yang lumayan tinggi. Terkadang dia membantu pekerjaan kotor sebagai seorang sniper.” Terang Steven.
“ap-APA?! Atas dasar apa Anda berkata demikian?! Anda tidak punya –“
“bukti? Saya punya buktinya.” Steven memotong perkataan Victor. Dia menyerahkan sebuah amplop yang berisi foto-foto dan lain sebagainya yang dikiranya bisa dianggap sebagai bukti.
“apa ini? Bukti-bukti ini. Ini seperti Anda telah memantau mereka selama bertahun-tahun.” Victor heran jelas dengan bukti-bukti yang ditunjukkan Steven.
“Anda tidak perlu tau dan tidak perlu khawatir, Mr.Wesley. Pada saatnya Anda akan tahu semuanya. Kalau begitu Saya permisi.” Pamit Steven undur diri.
-di lain tempat-
“jadi begitu. Jadi sampai sekarang pun kamu belum bisa menemukan dalang di balik aksi yang dilakukan Kilanait ya, Stev? Semoga kau cepat menemukannya ya, Stev sayang~”
.
.
.
(1) : suatu praktik untuk mengumpulkan informasi mengenai sebuah organisasi atau lembaga yang dianggap rahasia tanpa mendapatkan izin dari pemilik yang sah dari informasi tersebut. 
(2) : kilanait adalah pelesetan dari killer night (pembunuh malam) 

Sunday, August 31, 2014

Killing God

Virtual Novel - Killing God

Killing God BAB 1 : Rise and Shine

“hmph, dia terlambat” Anggie berdiri di gerbang SMA International Globe sendirian, sudah tidak ada lagi murid yang menunggu dijemput.
Secara tiba-tiba, angin bertiup kencang dan sedikit menerbangkan rok pendek bawaan seragam almamater Anggie. Dengan sigap, Anggie menahan roknya agar tidak tertiup angin.
“sendirian saja Anggie?” tanya seseorang dari belakang Anggie.
“eh, iya pak,” Anggie menolah ke belakangnya, pak Bobby berdiri di depan gerbang sekolah.
“belum dijemput?” tanya nya lagi.
“iya, Felix yang mau menjemput” jawab Anggie.
“yasudah kalau begitu saya temani sampai dijemput” pak Bobby menghampiri Anggie.
“ah, tidak usah repot-repot pak, bapak sendiri tidak pulang?” tanya Anggie.
“bapak kan guru piket, harus memastikan dulu semua murid sudah pulang”
“ooh, iya pak”
Pak Bobby menghampiri Anggie. Ia berdiri di sampingnya.
“sudah berapa lama kamu menunggu di sini?” tanya pak Bobby.
“ya dari tadi bel pulang pak” jawab Anggie.
“ya ampun, kasihan..” pak Bobby merangkul Anggie dan mengelus-elus pundaknya.
“hehehe..” Anggie tertawa kecil.
“bagaimana kalau bapak antar pulang saja?”
“eh? Tidak usah pak, paling sebentar lagi Felix juga sampai” Anggie menolak.
“sudah, sms saja dia tidak usah ke sini, kamu sudah diantar pak Bobby” ujar pak Bobby sembari menggandeng tangan kanan Anggie.
“tapi pak..”
“sudah, daripada kamu sampai sore menunggu di sini” 
“benar juga sih kata pak Bobby” pikir Anggie.
“yasudah deh pak, saya sms Felix dulu” kata Anggie sambil mengambil handphone dengan tangan kirinya.
“ya” ucap pak Bobby.
Sesaat setelah Anggie mengambil handphonenya, motor Felix memasuki area gerbang sekolah.
“Felix!” seru Anggie.
Felix mematikan motornya, dan melepas helmnya. Ia turun dan menghampiri Anggie yang tangan kanannya masih digenggam pak Bobby.
“saya sudah tau kalau ada guru cabul yang dari kemarin sudah pegang-pegang pacar saya.” ujar Felix.
“hah? Cabul? Nggak kok, pak Bobby cuma mau mengantar aku pulang, karena kamu terlambat datang” bantah Anggie.
“kamu tidak usah ikut campur! Ini urusan aku dengan guru cabul sialan ini!” bentak Felix.
Felix menarik tangan kiri Anggie hingga genggaman pak Bobby pada tangan kanannya terlepas, dan Anggie menabrak dada Felix.
“Felix, kamu jangan bicara yang tidak-tidak, nanti bisa kena hukuman!” ancam pak Bobby.
“saya bicara yang iya-iya, dan fakta!” Felix melepaskan Anggie dan berjalan mendekat ke pak Bobby.
“Felix..” ucap Anggie dengan mata yang berkaca-kaca, ia tidak pernah melihat Felix semarah itu.
“dengar guru sialan! Sekali lagi saya lihat kamu menyentuh satu helai benang pakaiannya sekalipun, bukan hanya karirmu, nyawamu akan habis!” ujar Felix sambil menunjuk ke pak Bobby.
“apa-apaan kamu mengancam seperti itu?! Saya berikan kamu toleransi untuk minta maaf sekarang! Atau kepala sekolah akan mengetahui hal ini besok” balas pak Bobby.
“12 milyar tahun pun tidak akan saya minta maaf” kata Felix.
“kamu macam-macam ya! Ternyata seperti ini sifat aslimu!”
“ya, memang seperti ini” Felix berbalik dan melangkah menuju motornya.
“Felix.. ayo pulang..” ucap Anggie dengan wajah yang berlinang air mata.
Felix menggandeng Anggie sampai ke motornya. Felix menyalakan motornya. Begitu Anggie naik dibelakangnya, mereka langsung pergi meninggalkan sekolah dan pak Bobby yang masih berdiri memperhatikan mereka di gerbang sekolah.
“dasar murid sial!!” ucapnya dalam hati.
Felix mengendarai motor dengan kecepatan mencapai 110 km/h. Amarah yang begitu besar dapat dirasakan Anggie yang memeluknya erat dari belakang.
“Felix…” ucap Anggie, suaranya begitu lemah, air mata masih mengalir tertiup angin di pipinya.
“apa?” tanya Felix tanpa mengalihkan perhatiannya ke jalan.
“jangan marah…” jawab Anggie.
Felix tidak menjawab. 
Berjarak beberapa ratus meter dari rumah Anggie, Felix memperlambat laju motornya. Anggie sedikit melonggarkan pelukannya ke Felix. Tangan kirinya mengusap air mata di wajahnya.
“sampai” ucap Felix saat sepeda motornya berhenti tepat di depan rumah Anggie.
“iya, kamu tidak mau mampir dulu?” tanya Anggie sembari turun dari motor.
Felix melihat jam tangannya. Menunjukkan pukul 3.30 sore.
“tidak, mungkin lain kali” Felix menolak tawaran Anggie.
“baiklah kalau begitu” ucap Anggie.
“ini nasi goreng untukmu” Felix menyerahkan kantong plastik yang digantungnya di motor.
“tidak usah, terima kasih” tolak Anggie.
“aku sudah belikan, sebaiknya kamu terima, daripada aku buang ke tempat sampah nantinya” ujar Felix.
“eh, jangan, kamu makan saja” cegah Anggie.
“aku belikan ini untuk kamu, aku juga berjanji akan makan masakan mama setelah ini”
“yasudah, aku ambil, terima kasih ya” Anggie mennerima kantong plastik berisi sebungkus nasi goreng itu.
“ya, aku pulang” Felix menurunkan kaca helmnya.
“iya, hati-hati”
Felix memutar motornya, dan segera melesat meninggalkan Anggie. Ia melaju dengan kecepatan yang sama dengan sebelumnya, bahkan lebih cepat.
Anggie memperhatikan Felix yang dengan cepat menghilang dari pandangan. Matanya masih berkaca-kaca mengingat apa yang baru saja terjadi. Anggie masuk ke dalam rumahnya dengan wajah murung.
“hey, kenapa murung begitu?” tanya om Alex yang membuka pintu rumah ketika Anggie hendak mengetuk.
“eh, nggak om, nggak apa-apa” jawab Anggie.
“ah, yang benar?” 
“iya om, benar” Anggie menegaskan
“yasudah kalau begitu, sana ganti baju, lalu makan” ujar om Alex.
“iya om..” Anggie masuk ke dalam rumah, sementara om Alex pergi ke luar dan menutup pintu.
Anggie berjalan menuju kamarnya. Ia berpapasan dengan Nadia di ruang keluarga.
“kenapa wajahmu murung begitu?” tanya Nadia yang tengah menonton televisi sambil menikmati es krim.
“nggak apa-apa mba” jawab Anggie sambil memasuki kamarnya dan menutup pintu.
“ckckck, anak ini sepertinya menyembunyikan sesuatu” gumam Nadia.
Di kamarnya, Anggie meletakkan tasnya di bawah tempat tidur, sementara ia membanting tubuhnya ke kasur yang empuk.
Anggie mengambil handphone dari saku kemeja seragam almamaternya. Ia mengetikkan sebuah pesan.
“kamu masih marah? Aku benar-benar takut melihat kamu seperti itu, aku mohon jangan bertindak seperti itu lagi” selesai mengetik, Anggie mengirimkan pesan itu ke Felix.
Anggie meletakkan handphonenya di kasur setelah melihat tanda pesan terkirim. Ia menatap langit-langit kamarnya sejenak. Lamunannya terpecah ketika suara ketukkan terdengar di pintu kamarnya.
Anggie membuka pintu kamarnya. Nadia berdiri di depan pintu kamarnya memegang es krim yang tadi dinikmatinya sambil menonton televisi.
“kenapa mba?” tanya Anggie.
“aku boleh masuk?” tanya Nadia.
“iya, masuk saja” Anggie mempersilakhan Nadia masuk ke kamarnya.
“ckckck, kamarmu berantakan sekali” ucap Nadia ketika memasuki kamar Anggie.
“hehe.. aku sedang malas bersih-bersih” Anggie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“boneka itu dari pacarmu ya?” Nadia menunjuk ke boneka beruang besar yang diletakkan di lemari.
“iya, kemarin waktu aku ulang tahun, Felix datang kemari” jawab Anggie.
“bagus juga pilihannya”
Nadia memasukkan sisa es krim ke mulutnya. Ia membuka lemari kaca itu, mengambil boneka beruang besar yang kemudian di gendongnya.
“bagus nih, aku juga mau” ucap Nadia dengan stik es krim masih di mulutnya.
“jangan mba, itu kan hadiah Felix”
“hehe, nggak Cuma bercanda”



Sunday, August 17, 2014

The Ga Jadi

Virtual Comedy - The Ga Jadi

The Ga Jadi : Dirgahayu Republik Indonesia



Indonesia, tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku

Indonesia, kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
"Indonesia bersatu!"

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya!
 
Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka, merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya!

“TEGAAAK GERAK!” terdengar suara lantang sang pemimpin upacara pasca pengibaran sang saka merah-putih diiringi sang lagu kebangsaan.
“Hah, gila. Pegel tangan gue.” Seorang pemuda dari baris paling belakang menyerukan keluhannya dalam volume yang kecil –cukup pintar untuk mengetahui bahwa sedang berlangsung upacara sakral di depannya.
“Tau nih. Segala masuk lagi. Padahal ini kan hari minggu.” Ucap teman sang pemuda di sebelah dengan gerutuan yang sangat kentara.
“Iya ya. Kenapa gak besok aja sih! Adek gue aja besok.” Gak woles, itu kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana sang pemuda ketiga menyuarakan pendapatnya.
“Dirga, Jaya, Dika. Jangan ngobrol.” Tegur salah satu guru yang kebetulan melintas di belakang mereka.
“Yaa pak..”

Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ada pengibaran bendera? Dan dimana mereka? Oh, rupanya sedang ada upacara menyambut hari jadi Indonesia yang 69 di sekolah-sekolah negeri, salah satunya di sekolah menengah atas yang sedang kita bicarakan ini. Bukan hanya upacara saja yang diadakan tetapi sekolah ini juga mengadakan lomba-lomba seperti lomba makan kerupuk, panjat pinang, kaki 3, tarik tambang, dan lain sebagainya. Seharusnya kegiatan seperti ini akan menarik, tapi sepertinya tidak bagi para murid di sini. Well, alasannya sangat jelas yaitu karena pihak sekolah telah merenggut satu-satunya hari libur mereka. Yang paling menunjukkan ketidak-sukaannya pada acara ini adalah 3 orang siswa yang terkenal bandel di sekolah mereka. Mereka adalah Dirga, Jaya, dan Dika. Sebut saja mereka “The Ga Jadi”. Selain itu adalah singkatan dari nama mereka, “ga jadi” juga sering mereka ucapkan sehingga voila, terciptalah nama itu. Seperti kisah di bawah ini contohnya.

“Cuy, cuy.” Kata Jaya.
“Ape cuy?” sahut Dika.
“Gimana kalau kita sabotase perlombaan yang ada di sini? Biar cepet pulang.” Lanjut Jaya.
“Nyabotase gimana maksud lo?” Tanya Dirga tidak paham dengan jalan pikiran sobatnya, Jaya.
“Ya… sabotase.” Sepertinya Jaya bingung mau bertindak seperti apa.
“Aha! Aku punya ide!” kata Dika tiba-tiba dengan suara yang diimut-imutin dan pose seperti anak alay, terkesan jijik.
“Apaan sih lo! Jangan gitu napa! Mau muntah gue!” Dirga menyuaran keluhannya akan sifat sobatnya.
“Muntah mah muntah aja. Kagak usah lapor-lapor gue.” Kata Dika enteng.
“Emang lo punya ide apaan? Tumben lo bisa mikir.” Kata Jaya.
“Sialan lo! Jadi gini ide gue adalah…..” Dika memberi jeda pada kalimatnya agar terkesan misterius.
“Adalah?” Tanya Dirga yang sepertinya amat teramat sangat penasaran.
“Adalah…” Dika mengulang kata yang terakhir ia ucapkan tadi. Sekali lagi, agar terkesan misterius katanya.
“Adalah apa b**o (disensor demi kepentingan umum)?!” kata Jaya yang langsung menempeleng kepala Dika, saking emosinya katanya.
“Anjir lo! Gak usah nempeleng pala gue juga g****k (disensor demi kepentingan umum)!” kata Dika tidak terima. Perang terjadi antara Dika dengan Jaya. Tapi karna Dirga juga sohib mereka jadilah Dirga ikut-ikutan perang dunia kesekian ini. Dan berhubung gue males nyeritain gimana perang mereka terjadi, jadi gue skip aja. Anggap aja perang tersebut tidak pernah ada.
“Apa yang terjadi barusan?” Tanya Dirga yang tidak mengerti kenapa mereka bisa bonyok-bonyok begitu.
“Aku tidak tau. Aku tidak mengingat apapun.” Kata Dika dramatis.
“B***h (disensor demi kepentingan umum)! Tadi ceritanya di skip gara-gara si author males nulis.” Kata Jaya emosi gegara temen-temennya yang kelewat drama.
“Oooooooooooooooooohhhhhhhhhhhhhhhhh……………….” Cuma  ‘oh’ –kelewat –panjang sebagai jawaban.
“Jadi ide lo tadi apa?” Tanya Dirga, back to the naskah katanya.
“Jadi gini, itu kan entar ada lomba makan kerupuk, gimana kalo entar kita ganti kerupuknya pake yang alot. Terus lomba panjat pinang kita ganti minyaknya pake lem biar lengket. Entar minyaknya kita tuang di lapangan biar yang lomba kaki tiga pada kepeleset semua. Gimana?” usul Dika.
“Terus yang tarik tambang?” Tanya Jaya.
“Yang itu biarin aja dah.” Kata Dirga.
“Oke! Berarti kita kudu nyari kerupuk alot dulu. Sama lem.” Kata Jaya.
“Ya udah, kita pinjem motor guru aja.” Usul Dirga
“Setuju!” sahut keduanya berbarengan.
Nih ceritanya the ga jadi lagi muter-muter sekolah buat nyari guru yang bisa dipinjemin motornya. Kenapa minjem? kan biasanya anak sma dah pada bawa motor sendiri. Soalnya, mereka ini tipe penerus bangsa anti polusi, jadi mereka gak pernah make kendaraan bermotor soalnya gak mau buat polusi tambah banyak. Wedeh…, hebat, hebat. Loh, terus kenapa minjem motor?
“Kepepet om.” Kata the ga jadi dengan tampang polos. Heleh alesan -_-
“Nah! Itu dia! Pak Jojon!” panggil Jaya. [Gue: gak enak banget namanya -_-|Jaya: kan lo yang buat -_-|Gue: oh iya :D]
“Ya? Ada apa?” Tanya pak Jojon.
“Pinjem motor dong pak.” Kata Dirga. Pak jojon menatap the ga jadi dengan intens [Gue: Ciye…, kayaknya mulai ada rasa neh :v |Pak jojon: bukan intens begitu |Gue: lah terus?|Pak Jojon: gue heran aja, kan biasanya mereka jalan kaki |Gue: gerakan perubahan pak ._.]
“Buat apa?” Tanya pak Jojon.
“Mau beol pak.” Kata Dika pasang muka bĂȘte.
“Udah lah pinjem aja. Entar juga bapak tau kok!” kata Jaya.
“Ya udah nih. Sekalian isiin bensinnya ya.” Kata pak Jojon.
“Duit?” kata Dirga. [Gue: matre lo!| Dirga: lah? Itu kan motor dia, masa duit bensin dari kita =_=]
“Talangin dulu lah. I’m flat broke, neh!” kata pak Jojon.
“Apaan tuh pak?” Tanya Dika. Maklum dia gak paham bahasa inggris.
“Bokek. Makanya gaul dong.” Kata pak Jojon pamer. [Gue: hett, itu tau dari gue juga -_-|Pak Jojon: udah diem aja]
“Ya udahlah. Cabut dulu ya pak!” pamit the ga jadi.
SEKIP TAIM
“Oke, bahan-bahan udah ngumpul semua nih! Sekarang tinggal kita jalanin misinya.” Kata Jaya serius.
“Tapi kayaknya ga usah aja deh.” Kata Dika ragu.
“Loh, kenpa dik? Kan ini ide lo.” Kata Dirga heran.
“Ya, gimana ya? Sekarang kan lagi agustusan, memperingati hari kemerdekaan negara kita. Kayaknya gak enak aja gitu kalo kita ngerusak pesta ultah negara sendiri. Kesannya gimana… gitu.” Jelas Dika panjang dikali lebar dikali tinggi sama dengan rumus volume balok.
“Iya juga sih ya.” Kata Dirga setuju.
“Iya gue tau ini lagu memperingatin ultahnya Indonesia, tapi misi tetep misi coy!” kata Jaya bersikeras untuk melaksanakan misi tersebut.
“Udah deh, buat kali ini gak usah aja. Kasian gue ma Indonesia kalo pesta di ganggu. Apalagi ini kan ultahnya yang ke 69, udeh tue, kasian.” Kata Dirga.
“Iya ya. Lah, terus ini gimana dong?” Tanya Jaya sambil nunjuk barang-barang yang udah dibeli.
“Loakin aja dah.” Kata Dika.
“Ya udah deh.” Kata Jaya pasrah.
“Semangat dong! Demi Indonesia nih!” kata Dirga dengan semangat ’45.
Dan pada akhirnya rencana the ga jadi pun ga jadi gara-gara mereka masih mencintai Indonesia dan ga  mau ngerusak momen bahagianya Indonesia.
“Happy Independence Day!” –Jaya
“HUT RI 69!” –Dika
“DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA!” –Dirga 
.
.
.
Hola. Berhubung sekarang tanggal 17 Agustus jadi ya gini deh. Oh ya, 'the ga jadi' ini bakal jadi cerbung ketiga gue. Cerbung ini terinspirasi dari idola gue, jadi nanti cerbung ini bakal ngemuat cerita2 ttg kehidupan sehari-hari kita yang dibuat jadi komedi gitu. Tapi sorry ya kalo jelek, untuk genre komedi masih awal2 sh jd masih rada bingung mau kayak gimana. Tapi next bakal gue tingkatin kok. Oh dan buat 'kilanait' tenang aja itu masih diterusin kok. Masih OTW.