Sunday, October 12, 2014

Kilanait

VIRTUAL NOVEL - KILANAIT

Kilanait : Hal Aneh Yang Terjadi



“Hai, Steven. Aku Crystal, Crystal Megan. Sorry ya kemaren gak sempet ngenalin diri. Aku ada pemotretan sih.” Kata Crystal.
Di pagi yang membosankan –menurut Steven –datanglah sang bidadari penyelamat hati. Steven hanya terbengong-bengong mendapati Crystal berada di sampingnya dan menyapanya seperti saat ini.
“Stev? Hello…” lambaian tangan pun Crystal lakukan tepat di depan wajah Steven. Hal itu dilakukan karena tidak ada respon sama sekali dari Steven.
“oh, eh, ah, hai. Sorry. Ah iya, gue Steven, Steven Brock. em, Crystal, boleh minta tanda tangannya gak?” Tanya Steven malu-malu.
“oh boleh kok.” Senyuman manis menyertai jawabannya.
Setelah Crystal memberikan tanda tangannya, alangkah terkejutnya Steven melihat tanda tangan tersebut. Bukan karena tanda tangannya yang indah atau menawan melainkan sesuatu yang mengerikan terlihat di sana.
KRIIING KRIIING
Awal mula pembelajaran hari itu pun dimulai.
SKIP TIME
-kantin-
“lu ngomong apa tadi ke Stev? Kok dia sampe keliatan kaget gitu?” Tanya Jeremy.
“jangan bilang kalau lu ngasih tau ke dia tentang kita.” Kata Anderson curiga.
“hm? Enggak kok. Aku cuma ngasih dia tanda tangan doang.” Kata Crystal santai.
“terus kenapa dia sampe kaget gitu?” Tanya Anderson.
“gak tau dan gak mau tau. Aku pergi duluan ya. Ada pemotretan. Daahh~” lambaian tangan mengiringi kepergian Crystal.
“haah, dasar model” celetuk Jeremy. Anderson hanya bisa tersenyum dan memahami.
-atap sekolah-
“ya, kira-kira sepeti itu” kata Steven berbicara dengan seseorang di seberang telepon.
“……”
“baik. Akan saya usahakan. Siap.” Sambungan telepon pun terputus.
“Crystal Megan, sang ketua. Aku pernah melihatnya sekali waktu menandatangi kontrak dengan kliennya. Tapi kenapa tanda tangannya yang ada di kontrak dan yang dia berikan berbeda? Bukan hanya dari bentuk, tapi ketebalan, kemiringan dan segala aspek di dalamnya berbeda. Sebenarnya dia itu siapa?” Steven bermonolog.
SKIP TIME
-gang sempit dekat markas kepolisian-
-pukul 00.10-
DOR TRING TING
AK47 mengeluarkan pelurunya dari arah gedung dekat menara. Peluru itu tepat mengenai jantung sang korban.
“gotcha.” Kata Crystal, pelaku penembakkan.
Mendengar suara puas sang ketua melalui mikrofon, Anderson dan Jeremy bergegas menuju ke tempat sang korban berada. Mereka membelah tubuh korban dengan sangat hati-hati. Kemudian pergi setelah mendapat apa yang mereka inginkan.
“Hyena, ayo pergi.” Kata Anderson kepada Crystal melalui mikrofon. Hyena, adalah codename milik Crystal.
“you go first, Jagermeister.” Jawab Crystal.
“oi, ayo cabut.” Teriak Jeremy lebih kepada Anderson.
“oke, kalau gitu gue sama bloodyfreak bakal nunggu lu di base.” Kata Anderson.
“oke” balas Crystal. Crytasl pun mematikan mikrofonnya.
“haah. Hari yang melelahkan ya.” Sesosok bayangan pun menampakkan wujudnya dari balik tangga. Berujar pada sosok yang kini tengah membereskan senapannya.
“harusnya aku yang bilang begitu, sista.”
.
.
.
Sorry lama (banget). biasalah, orang sibuk :D 

Monday, September 1, 2014

Kilanait

Virtual Novel - Kilanait

Kilanait : Penyelidikan



FLASHBACK : ON
“Saya mohon kerja samanya pak.” Ucap Steven.
“tapi kenapa harus di kelas XI.3?” Tanya Mr.Anton, selaku kepala sekolah.
“karena kemungkinan besar pelaku kejahatan atas kasus yang akhir-akhir ini beredar ada di sekolah ini. Dan untuk kelasnya, mungkin karena disitu ada Crystal pak.” Cengiran bodoh terpampang di wajahnya.
“maksud anda kilanait?! Dan memangnya ada apa dengan Crystal?” Tanya Mr.Anton panik.
“kilanait? Jadi mereka menamai diri mereka kilanait? Menarik juga.” Sebuah seringaian terpampang di wajah Mr.Brock. “Oh, dan untuk Crystal, itu karena adik saya adalah fans beratnya pak.” Sekali lagi cengiran bodoh terpampang di wajahnya menggantikan raut wajah serius yang tadi sempat menghiasi wajah Steven.
“Hah, baiklah kalau begitu. Akan saya urus semuanya. Mulai besok anda bisa melaksanakan tugas anda.” Kata Mr.Anton menyetujui –setelah jatuh dari rasa ketidak-percayaannya atas alasan yang diutarakan tadi.
“terima kasih sir Anton. Tapi saya mohon agar ini hanya menjadi rahasia kita berdua.”
“baiklah, saya berjanji”
FLAHSBACK : OFF
STEVEN POV
Haah… bangku SMA lagi bangku SMA lagi. Terkadang bĂȘte juga sih kalau harus mengurus kasus seperti ini. But it’s okay. The challenges are here, aren’t they?
TEEET TEEET
Well, sepertinya perasaan saat bel itu berbunyi tetap tidak berubah.
“so, nama lo Steven ‘kan?” Tanya seorang anak lelaki.
“iya. Kenapa?” jawabku.
“nama gue Jeremy. Jeremy Carter. Mungkin lo pernah liat gue di tivi.” Kata anak itu dengan gaya yang…, em…, sok cool mungkin? Tunggu, Jeremy Carter? JEREMY CARTER?! PEMAIN BASEBALL ITU?!
“Jeremy Carter? Astaga, senang bisa bertemu! Gue salah satu fans lu. Ya bukan fans berat sih, Cuma suka liat permainan kalian aja. Apalagi waktu lu ngelempar bola. Ketinggian dan kecepatan yang luar biasa!” kataku semangat.
“well, ya, hahaha. By the way, mau gue anter keliling sekolah?” tawarnya.
“wih, boleh banget. Tapi ke kantin dulu ya. Laper gue.” Kataku dengan senyum khasku (baca: cengiran bodoh)
“ayo aja.”
SKIP TIME
NORMAL POV
-Jeremy’s house-
“perasaanku aja atau Steven emang mencurigakan ya?” kata Anderson bermonolog, sepertinya.
“gue juga ngerasa gitu. Soalnya waktu tadi gue ajak dia keliling sekolah matanya kayak nyari-nyari sesuatu gitu.” Kata Jeremy.
“Got it! Steven Brock. Sarjana S2 kriminologi. Sekarang kuliah S3. Usia 23 tahun –“ kata Crystal terpotong.
“tunggu! 23 tahun S2?! Gimana bisa?!” teriak Jeremy heboh.
“pasti dia orang cerdas.” Jawab Anderson kalem.
“ –Steven menyelesaikan study sampai jenjang SMA di usia 14 tahun. Dia murid percepatan. Menyelesaikan S1 dan S2 hanya dalam 3 tahun. And guess what. Dia spionase1 sejak 5 tahun yang lalu. Dan…, oh crack! Sistem pertahanan tingkat tinggi. Cuma segitu yang aku dapetin.” Kata Crystal.
“jadi benar kalau Mr.Brock itu bukan orang biasa. Itu tandanya kita harus waspada guys. Aku yakin kedatangan Mr.Brock ke sekolah kita bukan dengan alasan yang cuma-cuma. Kemungkinan identitas kita sedikit banyaknya telah mereka ketahui.” Kata Anderson memperingati.
“jadi intinya kepolisian mengibarkan bendera perang sama kita?” Tanya Jeremy meyakinkan.
“sepertinya begitu.” Jawab Crystal.
“kalau gitu kita bunuh aja si Steven itu! Atau kita beraksi siang-siang biar kecurigaannya terhadap kita hilang.” Usul Jeremy.
“kalau kita membunuh Mr.Brock, itu sama saja dengan memberikan informasi bahwa pelakunya memang ada di sekolah kita.” Jelas Anderson.
“lagipula kalau kita beraksi siang-siang itu akan menyulitkan bagi kita. Kita tidak bisa menghilang di depan umum dan melakukan aksi. Bisa-bisa yang lain akan curiga.” Kata Crystal. “dan lagi kita ini adalah kilanait. Kita adalah pembunuh yang berkerja di malam hari2. Akan terasa aneh kalau kita beraksi di bawah cahaya matahari.” Tambah Crystal dengan seringaian andalannya. “dan aku tidak mau kulitku terbakar. Itu bisa merusak reputasiku.”
GUBRAK
“jadi dia Cuma mikirin kulitnya” kata Jeremy sweetdrop.
“yah, pokoknya apa yang dikatan Crystal itu benar. Kita harus cari cara lain untuk menyingkirkannya.” Kata Anderson. “ingat! Yang kita hadapi kali ini adalah organisasi besar.”
-markas kepolisian-
“welcome home, Mr.Brock.” sambutan hangat datang dari Victor yang ditunjukkan untuk Steven.
“this is not my home, Mr.Wesley.” kata Steven.
“ya, Saya tau itu. Jadi bagaimana?” Tanya Victor.
“ini akan sangat mengejutkan. Ternyata pelaku kejahatan yang menamai diri mereka sendiri Kilanait ini berisi orang-orang terkemuka.” Kata Steven.
“maksud Anda?” Victor meminta keterangan lebih lanjut.
“mereka adalah Jeremy Carter, orang yang paling banyak melakukan pekerjaan kotor. Dia yang bertugas membunuh dan mengoperasinya. Yang kedua ada Anderson Miles, bertugas untuk melakukan transaksi dengan pembeli dan juga dia sedikit-banyak meretas suatu jaringan yang memiliki tingkat keamanan rendah. Dan yang terkahir, sang ketua, Crystal Megan. Dia adalah otak dari aksi-aksi mereka. Tugasnya menyusun rencana, meretas jaringan dengan tingkat keaman yang lumayan tinggi. Terkadang dia membantu pekerjaan kotor sebagai seorang sniper.” Terang Steven.
“ap-APA?! Atas dasar apa Anda berkata demikian?! Anda tidak punya –“
“bukti? Saya punya buktinya.” Steven memotong perkataan Victor. Dia menyerahkan sebuah amplop yang berisi foto-foto dan lain sebagainya yang dikiranya bisa dianggap sebagai bukti.
“apa ini? Bukti-bukti ini. Ini seperti Anda telah memantau mereka selama bertahun-tahun.” Victor heran jelas dengan bukti-bukti yang ditunjukkan Steven.
“Anda tidak perlu tau dan tidak perlu khawatir, Mr.Wesley. Pada saatnya Anda akan tahu semuanya. Kalau begitu Saya permisi.” Pamit Steven undur diri.
-di lain tempat-
“jadi begitu. Jadi sampai sekarang pun kamu belum bisa menemukan dalang di balik aksi yang dilakukan Kilanait ya, Stev? Semoga kau cepat menemukannya ya, Stev sayang~”
.
.
.
(1) : suatu praktik untuk mengumpulkan informasi mengenai sebuah organisasi atau lembaga yang dianggap rahasia tanpa mendapatkan izin dari pemilik yang sah dari informasi tersebut. 
(2) : kilanait adalah pelesetan dari killer night (pembunuh malam) 

Sunday, August 31, 2014

Killing God

Virtual Novel - Killing God

Killing God BAB 1 : Rise and Shine

“hmph, dia terlambat” Anggie berdiri di gerbang SMA International Globe sendirian, sudah tidak ada lagi murid yang menunggu dijemput.
Secara tiba-tiba, angin bertiup kencang dan sedikit menerbangkan rok pendek bawaan seragam almamater Anggie. Dengan sigap, Anggie menahan roknya agar tidak tertiup angin.
“sendirian saja Anggie?” tanya seseorang dari belakang Anggie.
“eh, iya pak,” Anggie menolah ke belakangnya, pak Bobby berdiri di depan gerbang sekolah.
“belum dijemput?” tanya nya lagi.
“iya, Felix yang mau menjemput” jawab Anggie.
“yasudah kalau begitu saya temani sampai dijemput” pak Bobby menghampiri Anggie.
“ah, tidak usah repot-repot pak, bapak sendiri tidak pulang?” tanya Anggie.
“bapak kan guru piket, harus memastikan dulu semua murid sudah pulang”
“ooh, iya pak”
Pak Bobby menghampiri Anggie. Ia berdiri di sampingnya.
“sudah berapa lama kamu menunggu di sini?” tanya pak Bobby.
“ya dari tadi bel pulang pak” jawab Anggie.
“ya ampun, kasihan..” pak Bobby merangkul Anggie dan mengelus-elus pundaknya.
“hehehe..” Anggie tertawa kecil.
“bagaimana kalau bapak antar pulang saja?”
“eh? Tidak usah pak, paling sebentar lagi Felix juga sampai” Anggie menolak.
“sudah, sms saja dia tidak usah ke sini, kamu sudah diantar pak Bobby” ujar pak Bobby sembari menggandeng tangan kanan Anggie.
“tapi pak..”
“sudah, daripada kamu sampai sore menunggu di sini” 
“benar juga sih kata pak Bobby” pikir Anggie.
“yasudah deh pak, saya sms Felix dulu” kata Anggie sambil mengambil handphone dengan tangan kirinya.
“ya” ucap pak Bobby.
Sesaat setelah Anggie mengambil handphonenya, motor Felix memasuki area gerbang sekolah.
“Felix!” seru Anggie.
Felix mematikan motornya, dan melepas helmnya. Ia turun dan menghampiri Anggie yang tangan kanannya masih digenggam pak Bobby.
“saya sudah tau kalau ada guru cabul yang dari kemarin sudah pegang-pegang pacar saya.” ujar Felix.
“hah? Cabul? Nggak kok, pak Bobby cuma mau mengantar aku pulang, karena kamu terlambat datang” bantah Anggie.
“kamu tidak usah ikut campur! Ini urusan aku dengan guru cabul sialan ini!” bentak Felix.
Felix menarik tangan kiri Anggie hingga genggaman pak Bobby pada tangan kanannya terlepas, dan Anggie menabrak dada Felix.
“Felix, kamu jangan bicara yang tidak-tidak, nanti bisa kena hukuman!” ancam pak Bobby.
“saya bicara yang iya-iya, dan fakta!” Felix melepaskan Anggie dan berjalan mendekat ke pak Bobby.
“Felix..” ucap Anggie dengan mata yang berkaca-kaca, ia tidak pernah melihat Felix semarah itu.
“dengar guru sialan! Sekali lagi saya lihat kamu menyentuh satu helai benang pakaiannya sekalipun, bukan hanya karirmu, nyawamu akan habis!” ujar Felix sambil menunjuk ke pak Bobby.
“apa-apaan kamu mengancam seperti itu?! Saya berikan kamu toleransi untuk minta maaf sekarang! Atau kepala sekolah akan mengetahui hal ini besok” balas pak Bobby.
“12 milyar tahun pun tidak akan saya minta maaf” kata Felix.
“kamu macam-macam ya! Ternyata seperti ini sifat aslimu!”
“ya, memang seperti ini” Felix berbalik dan melangkah menuju motornya.
“Felix.. ayo pulang..” ucap Anggie dengan wajah yang berlinang air mata.
Felix menggandeng Anggie sampai ke motornya. Felix menyalakan motornya. Begitu Anggie naik dibelakangnya, mereka langsung pergi meninggalkan sekolah dan pak Bobby yang masih berdiri memperhatikan mereka di gerbang sekolah.
“dasar murid sial!!” ucapnya dalam hati.
Felix mengendarai motor dengan kecepatan mencapai 110 km/h. Amarah yang begitu besar dapat dirasakan Anggie yang memeluknya erat dari belakang.
“Felix…” ucap Anggie, suaranya begitu lemah, air mata masih mengalir tertiup angin di pipinya.
“apa?” tanya Felix tanpa mengalihkan perhatiannya ke jalan.
“jangan marah…” jawab Anggie.
Felix tidak menjawab. 
Berjarak beberapa ratus meter dari rumah Anggie, Felix memperlambat laju motornya. Anggie sedikit melonggarkan pelukannya ke Felix. Tangan kirinya mengusap air mata di wajahnya.
“sampai” ucap Felix saat sepeda motornya berhenti tepat di depan rumah Anggie.
“iya, kamu tidak mau mampir dulu?” tanya Anggie sembari turun dari motor.
Felix melihat jam tangannya. Menunjukkan pukul 3.30 sore.
“tidak, mungkin lain kali” Felix menolak tawaran Anggie.
“baiklah kalau begitu” ucap Anggie.
“ini nasi goreng untukmu” Felix menyerahkan kantong plastik yang digantungnya di motor.
“tidak usah, terima kasih” tolak Anggie.
“aku sudah belikan, sebaiknya kamu terima, daripada aku buang ke tempat sampah nantinya” ujar Felix.
“eh, jangan, kamu makan saja” cegah Anggie.
“aku belikan ini untuk kamu, aku juga berjanji akan makan masakan mama setelah ini”
“yasudah, aku ambil, terima kasih ya” Anggie mennerima kantong plastik berisi sebungkus nasi goreng itu.
“ya, aku pulang” Felix menurunkan kaca helmnya.
“iya, hati-hati”
Felix memutar motornya, dan segera melesat meninggalkan Anggie. Ia melaju dengan kecepatan yang sama dengan sebelumnya, bahkan lebih cepat.
Anggie memperhatikan Felix yang dengan cepat menghilang dari pandangan. Matanya masih berkaca-kaca mengingat apa yang baru saja terjadi. Anggie masuk ke dalam rumahnya dengan wajah murung.
“hey, kenapa murung begitu?” tanya om Alex yang membuka pintu rumah ketika Anggie hendak mengetuk.
“eh, nggak om, nggak apa-apa” jawab Anggie.
“ah, yang benar?” 
“iya om, benar” Anggie menegaskan
“yasudah kalau begitu, sana ganti baju, lalu makan” ujar om Alex.
“iya om..” Anggie masuk ke dalam rumah, sementara om Alex pergi ke luar dan menutup pintu.
Anggie berjalan menuju kamarnya. Ia berpapasan dengan Nadia di ruang keluarga.
“kenapa wajahmu murung begitu?” tanya Nadia yang tengah menonton televisi sambil menikmati es krim.
“nggak apa-apa mba” jawab Anggie sambil memasuki kamarnya dan menutup pintu.
“ckckck, anak ini sepertinya menyembunyikan sesuatu” gumam Nadia.
Di kamarnya, Anggie meletakkan tasnya di bawah tempat tidur, sementara ia membanting tubuhnya ke kasur yang empuk.
Anggie mengambil handphone dari saku kemeja seragam almamaternya. Ia mengetikkan sebuah pesan.
“kamu masih marah? Aku benar-benar takut melihat kamu seperti itu, aku mohon jangan bertindak seperti itu lagi” selesai mengetik, Anggie mengirimkan pesan itu ke Felix.
Anggie meletakkan handphonenya di kasur setelah melihat tanda pesan terkirim. Ia menatap langit-langit kamarnya sejenak. Lamunannya terpecah ketika suara ketukkan terdengar di pintu kamarnya.
Anggie membuka pintu kamarnya. Nadia berdiri di depan pintu kamarnya memegang es krim yang tadi dinikmatinya sambil menonton televisi.
“kenapa mba?” tanya Anggie.
“aku boleh masuk?” tanya Nadia.
“iya, masuk saja” Anggie mempersilakhan Nadia masuk ke kamarnya.
“ckckck, kamarmu berantakan sekali” ucap Nadia ketika memasuki kamar Anggie.
“hehe.. aku sedang malas bersih-bersih” Anggie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“boneka itu dari pacarmu ya?” Nadia menunjuk ke boneka beruang besar yang diletakkan di lemari.
“iya, kemarin waktu aku ulang tahun, Felix datang kemari” jawab Anggie.
“bagus juga pilihannya”
Nadia memasukkan sisa es krim ke mulutnya. Ia membuka lemari kaca itu, mengambil boneka beruang besar yang kemudian di gendongnya.
“bagus nih, aku juga mau” ucap Nadia dengan stik es krim masih di mulutnya.
“jangan mba, itu kan hadiah Felix”
“hehe, nggak Cuma bercanda”